makalah tentang tukar-menukar (ash sharf)
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN ASH-SHARF
Ash-sharf secara etimologi artinya Al-Ziyadah (penambahan), Al-‘Adl (seimbang), penghindaran, pemalingan penukaran, atau transaksi jual beli. Kadang-kadang Al-Sharf dipahami berasal dari kata Sharafa yang artinya membayar dengan penambahan. Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Atau sharf (money changing) adalah menjual nilai sesuatu dengan nilai sesuatu yang lain, meliputi emas dengan emas, perak dengan perak, dan emas dengan perak. Dalam kamus istilah fiqh disebutkan bahwa Ba'i Sharf adalah menjual mata uang dengan mata uang (emas dengan emas). Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri Rasulallah SAW bersabda :
الذَهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالفِضّةِ وَالبُرُّ بِالبُرِّ وَالمِلْحُ بِالمِلحِ
مَثَلاً بِمَثَلٍ بِيَدٍ يَدًا فَمَن زَادَ وَاستَزَادَ فَقَد
اَربَىالمُعطِىسَوَاءٌ
الاَخِدُوَ
Artinya
: “emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, garam dengan
garam sama-sama dari tangan ke tangan, siapa yang menambahkan atau minta
ditambahkan sungguh ia telah berbuat riba, pengambil dan pemberi sama.”(HRAhmaddanBukhari)
a. Menurut
istilah fiqh, Ash-Sharf adalah jual
beli antara barang sejenis atau antara barang tidak sejenis secara tunai.Seperti
memperjualbelikan emas dengan emas atau emas dengan perak baik berupa perhiasan
maupun mata uang. Praktek jual beli antar valuta asing (valas), atau penukaran
antara mata uang sejenis.
b. Menurut
Heri Sudarsono, Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta
lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing (valuta asing) dapat dilakukan
baik dengan sesama mata uang yang sejenis, misalnya rupiah dengan rupiah maupun
yang tidak sejenis, misalnya rupiah dengan dolar atau sebaliknya.
c. Menurut
Tim Pengembangan Institut Bankir Indonesia, Sharf adalah jasa yang diberikan
oleh bank kepada nasabahnya untuk melakukan transaksi valuta asing menurut
prinsip-prinsip Sharf yangdibenarkansecarasyari'ah.
d. Adapun
menurut ulama fiqh Sharf adalah sebagai memperjualbelikan uang
denganuangyangsejenismaupuntidaksejenis.
Dalam
literatur klasik, pembahasan ini ditemukan dalam bentuk jual beli dinar dengan
dinar, dirham dengan dirham, atau dinar dengan dirham. Satu dinar menurut
Syauqi Ismail Syahatah (ahli fiqh dari Mesir), bernilai 4,51 gram emas. Menurut
jumhur ulama 1 dinar adalah 12 dirham dan menurut ulama Madzhab Hanafi, 10
dirham. Perbedaan harga dinar tersebut terjadi karena fluktuasi mata uangpadazamanmerekamasing-masing.
B. DASAR HUKUM ASH-SHARF
Menurut Al-Hadis Setelah beberapa jenis mata uang telah
dibuat, maka mata uang kertas wajib menggantikan fungsi emas dan perak, yang
mana emas dan perak inilah yang dulu dipakai sebagai alat tukar. Dengan demikian mata uang kertas menjadi satu-satunya satuan hitung
dan sarana perantara dalam tukar-menukar. Mata uang kertas menjadi nilai harga
sebagaimana halnya emas dan perak. Oleh sebab itu hukum tukar menukar mata uang
kertas tunduk kepada peraturan al-sharf sebagaimana halnya emas dan perak. Para Fuqaha mengatakan bahwa kebolehan melakukan praktek
sharf didasarkan pada sejumlah hadis nabi yang antara lain pendapat jumhur
ulama yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi’ dari Abu Said berkata
Rasulallah SAW bersabda:
عَن
ابِي سَعِيدالخُدرِي قَالَ رَسُولُ الله صَلىّ الله عَلَيهِ وَسَلّم الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالفِضَّةُ بِالفِضَّةِ وَالبُرُّ بِالبُرِّ وَالشَّعِيرُ
باِلشّعِيرِ وَالتّمرُ بِالتّمرِ وَالمِلحُ بِالمِلحِ مَثَلًا بِمِثلٍ بِيَدٍ
يَدًا فَمَن زَادَ اوَاستَزَادَ فَقَد اَربَى الاَخِدَ وَالمُعطِى فِيهِ سَوَاءٌ
Artinya
: “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barang siapa memberi
tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba.
Penerimaataupemberisama-samabersalah.”(HRMuslim)
Dalam hadis lain:
الذّهَبَ
لَاتَبِيعُوا بِالذّهَبِ اِلّا مَثَلًا بِمَثَلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعضَهَا عَلَى
بَعضٍ وَلَاالوَرَقَ تَبِيعُوا اِلّا مَثَلاً بِمَثَلٍ وَلَا تُشِفّوا بَعضَهَا عَلَى
بَعضٍ وَلَا تَبِيعَواغَائِبًا مِنهَا بِنَا جِزٍ
Artinya
: “janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama-sama bilangannya dan
janganlah kamu lebihkan sebagian atas sebagian lainnya, janganlah kamu menjual
uang kertas dengan uang kertas kecuali sama-sama bilangannya dan janganlah kamu
lebihkan sebagian dengan sebagian lainnya dan janganlah kamu menjual barang
yang tidak ada di tempat dengan yang sudah ada ditempat.”(HRBukharidanMuslimdariAbiSaid)
Dari beberapa hadis di atas dapat dipahami bahwa hadis
pertama dan ketiga merupakan dalil diperbolehkannya sharf dan tidak boleh ada
penambahan pada suatu barang yang sejenis. Sedangkan
dalam hadis kedua selain diperbolehkannya praktek sharf, juga mengisyaratkan
bahwa jual beli tersebut harus dilakukan secara tunai.
C.
SYARAT SYARAT ASH-SHARF
Menurut ulama fiqh, persyaratan yang harus dipenuhi dalam jual beli mata uang adalah sebagai berikut:
1. Nilai
tukar yang diperjualbelikan harus telah dikuasai, baik oleh pembeli maupun oleh
penjual, sebelum keduanya berpisah badan. Penguasaan tersebut dapat berbentuk
penguasaan secara material, misalnya pembeli langsung menerima dolar Amerika
Serikat yang dibeli dan penjual langsung menerima uang rupiah. Adapun
penguasaan secara hukum, misalnya pembayaran dengan menggunakan cek. Menurut
para ahli fiqh, syarat ini untuk menghindarkan terjadinya riba nasi'ah. Jika
keduanya atau salah satunya tidak menyerahkan barang sampai keduanya berpisah
maka akad al-Sharf menjadi batal.
2. Apabila
mata uang atau valuta yang diperjualbelikan itu dari jenis yang sama, maka jual
beli mata uang itu harus dilakukan dalam mata uang sejenis yang kualitas dan
kuantitasnya sama, sekalipun model dari mata uang itu berbeda. Misalnya, antara
mata uang rupiah lembaran Rp50.000,- ditukar dengan uang Rp5000,-. Atau uang
kertas ditukar dengan uang logam.
3. Dalam
sharf, tidak boleh dipersyaratkan dalam akadnya adanya hak khiyar syarat bagi
pembeli. Alasannya adalah selain untuk menghindari riba, juga karena hak khiyar
membuat hukum akad jual beli menjadi belum tuntas. Sedangkan salah satu syarat
jual beli sharf adalah penguasaan valuta yang dipertukarkan sesuai dengan nilai
tukar keduanya oleh masing-masing pihak.
4.
Dalam akad sharf tidak
boleh ada tenggang waktu antara penyerahan mata uang yang saling dipertukarkan,
karena bagi sahnya sharf penguasaan objek akad harus dilakukan secara tunai dan
perbuatan saling menyerahkan itu harus telah berlangsung sebelum kedua belah
pihak yang melakukan jual beli valuta itu berpisah badan.
Menurut
Mustafa Ahmad az-Zahra (ahli fiqh) dua syarat terakhir terkait erat dengan
syarat pertama. Oleh sebab itu ada beberapa akibat hukum yang ditimbulkan oleh
syarat penguasaan objek akad secara tunai tersebut. Pertama, ibra
(pengguran hak) atau hibah. Apabila seseorang menjual dolarnya dengan rupiah,
kemudian setelah pembeli menerima dolarnya, penjual menyatakan ibra atau
menghibahkan haknya (rupiah dari pembeli), maka dalam hal ini terdapat dua
kemungkinan, yaitu apabila pembeli menerima ibra, maka gugurlah kewajibannya
untuk menyerahkan rupiah tersebut dan akad sharf menjadi batal. Kemudian
apabila pembeli tidak mau menerima ibra, maka ibra atau hibahnya tidak sahakan tetapi
akad tetap berlaku. Kedua, apabila salah satu pihak memberikan sesuatu yang
melebihi kewajibannya dalam pertukaran objek sharf, menurut ulama fiqh itu tidak boleh, karena merupakan riba. Ketiga, apabila
terjadi pengalihan hutang kepada orang lain (hiwalah), misalnya salah satu
pihak menunjuk orang lain untuk menerima atau menguasai objek sharf secara
langsung di majelis akad, menurut ulama fiqh hukumnya boleh karena penguasaan
objek akad sharf tersebut memenuhi syarat secarasempurna. Keempat, terjadi
saling pengguguran hak atau utang (Al-muqasah).
Menurut Fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN)
Fatwa DSN 28/DSN-MUI/III/2002: Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)
1.KetentuanUmum
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
Fatwa DSN 28/DSN-MUI/III/2002: Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)
1.KetentuanUmum
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak
untuk spekulasi (untung-untungan)
b. Ada
kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
c. Apabila
transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan
secara tunai (at-taqabudh).
d. Apabila
berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku
pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
2.Jenis-jenisTransaksiValutaAsing
a. Transaksi
Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk
penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat
dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai,
sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa
dihindari (ِمَّما لاَ
ُبَّد مِنْهُ) dan merupakan transaksi internasional.
b. Transaksi
Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan
pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24
jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang
digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya
dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum
tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward
agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
c. Transaksi
Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang
dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga
forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
d. Transaksi
Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual
yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan
jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).
3.
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya. Ditetapkan di: Jakarta, Tanggal: 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002.
C.
APLIKASI ASH-SHARF DI PERBANKAN
SYARIAH
Transaksi valuta
asing menurut prinsip yang dibenarkan syariah. Kebutuhan transaksi valas
semakin menguat karena volume transaksi pembayaran internasional kian
meningkat. Di bank syariah, transaksi valas pun harus memenuhi prinsip
pertukaran secara spot, berlangsung dengan tunai dan tidak mengandungunsurspekulasi.
Prinsip utama dalam melakukan perjanjian (akad) sharf adalah pertukaran mata uang secara spot, tunai dan tidak untuk spekulasi. Sharf membenarkan transaksi yang dilakukan untuk berjaga-jaga atau dalam bentuk simpanan. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan transaksi sharf. Bila transaksi dilakukan untuk mata uang yang sejenis, maka nilai nominal harus sama dan secara tunai (taqabudh). Perdagangan valuta asing dapat dianalogikan dengan pertukaran antara emas dan perak. Dalam aplikasinya diperbankan syariah, sharf merupakan pelayanan jasa bank kepada nasabahnya untuk melakukan transaksi.
Untuk transaksi mata uang yang berbeda, maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi berlaku. Jenis transaksi valuta asing dalam perbankan ini terbagi dalam empat kelompok.
Pertama, transaksi spot dimana penyelesaian paling lambat dua hari. Kedua, transaksi forward dengan harga waktu mendatang lebih dari dua hari. Ketiga, transaksi swap dimana kontrak pembelian dan penjualan dengan harga tertentu yang dikombinasikan. Jenis transaksi terakhir adalah option, dimana merupakan kontrak untuk memperoleh hak untuk membeli atau menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit pada harga dan jangka waktu tertentu.
Dari keempat jenis transaksi tersebut, sharf hanya memperbolehkan transaksi spot saja karena transaksi tunai. Sedangkan untuk ketiga transaksi lainnya tidak dibenarkan dalam sharf, karena menggunakan harga yang diperjanjikan muwa’adah) dan penyerahan dilakukan di kemudian hari.
Komentar
Posting Komentar