Makalah Tentang Indonesia Masih Impor Garam
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
“
Bagaikan sayur tanpa garam “. Apakah makna dari peribahasa tersebut?
Ya...semenarik apapun dan sehebat apapun yang memasak, masakan itu akan terasa
kurang jika tidak diberi garam. Meskipun sepele dan nilainya tak seberapa,
namun itu merupakan elemen yang sangat penting. Tapi mengapa Indonesia yang
memiliki garis pantai terpanjang nomer empat didunia masih mengimpor garam? Apa
karena nilainya yang tak seberapa? Atau karena ada faktor yang lainya? Maka
dari itu sebelum melangkah lebih jauh, saya sebagai penulis mencoba menyajikan
informasi tentang masalah ini.
B. RUMUSAN MASALAH
- Mengapa Indonesia masih mengimpor garam?
- Apakah syarat untuk menghasilkan kualitas garam yang sesuai standar?
C. TUJUAN
- Untuk mengetahui penyebab Indonesia masih mengimpor garam.
- Untuk mengetahui syarat untuk menghasilkan kualitas garam yang sesuai standar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. INDONESIA MASIH IMPOR GARAM
Nasib industri garam memang tragis.
Tidak seperti industri baja, pertekstilan, atau sektor alas kaki yang
memperoleh perhatian pemerintah dan diberikan sejumlah fasilitas, industri
garam seolah dibiarkan hidup seadanya. Indonesia yang memiliki garis pantai
sepanjang 95.181 km atau terpanjang keempat di dunia, terpaksa harus terus
menerus mengimpor garam setiap tahun. Industri garam bahkan tidak pernah
dikelompokkan ke dalam barang strategis kendati kebutuhan domestik sangat besar
dan keberadaannya sangat vital dalam mencukupi kebutuhan dasar rakyat.
Terasa aneh memang jika kita mendengar bahwa Indonesia
mengimpor garam. Timbul berbagai pertanyaan pada diri kita mengenai hal ini.
Sebanarnya Indonesia Negara perairan atau tidak? Perairan Indonesia itu
kekeringan ya? Pantai disekitar perairan Indonesia sudah habis ya karena
abrasi? Kemana para petani garam Indonesia mereka berubah propesi ya? Kenapa
Indonesia bisa mengimpor garam padahal perairan Indonesia sangat luas yaitu
sekitar 3.287.010 km^2 dan pantainya sangat panjang sehingga disebut dengan
Negara perairan.Indonesia memiliki pantai yang luas, seharusnya mampu
menghasilkan garam yang banyak dan berkualitas, namun tidak untuk saat ini,
kita belum mampu. Indonesia masih mengimpor garam untuk jenis garam industri,
yaitu yang digunakan sebagai bahan baku atau katalis dalam berbagai jenis
industri (misal: penyamakan kulit hewan, tekstil, dan kosmetik). Tentu saja
untuk keperluan industri dibutuhkan garam berkualitas, namun lagi-lagi kita
belum bisa memenuhi permintaan pasar untuk yang satu ini. Yah..
kemampuan petani garam kita sebagian besar baru sebatas untuk garam konsumsi
(garam dapur) yang kebanyakan berada di kualitas ke-3.
Kebutuhan garam konsumsi untuk tahun 2012, sebesar 1,4 juta
ton, sedangkan garam Industri 1,8 juta ton. Kita telah hitung, melalui
usulan dari Direktur Jenderal (Dirjen) Manufaktur Kementerian Perindustrian
(Kemenperin) dan hasilnya, kita masih membutuhkan 533.000 ton garam kosumsi,
dan itu dipenuhi dengan impor. Selama ini pasar dalam negeri membutuhkan
2 jenis garam, yaitu garam yang diperuntukkan untuk konsumsi dan industri.
Garam kosumsi dengan NACL sebesar 94,7 persen digunakan tidak hanya untuk
konsumsi tapi juga pengasinan dan untuk kosumsi makanan manusia dan ternak.
Sedangkan, garam Industri dengan kadar NACL 97 persen atau kadarnya lebih
tinggi dari garam konsumsi, banyak digunakan untuk industri kulit, farmasi dan
tekstil. Kebutuhan garam untuk industri 100 persen harus impor. Sedangkan untuk
kebutuhan garam kosumsi dilakukan lebih pada penyerapan garam lokal, kekurangannya
baru dipenuhi lewat impor.
B.
BANYAKNYA KENDALA YANG MENGHAMBAT
Ada
yang bilang ini ironis, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan pantai yang
sedemikian panjang tetapi tetap saja butuh importasi garam. Akan tetapi, mau
tidak mau, suka atau tidak suka, itu memang harus kita lakukan karena hasil
produksi tidak mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Tahun ini saja, kita
masih membutuhkan 533 ribu ton lagi garam untuk konsumsi dalam negeri.
Kekurangan pasokan garam yang kita alami karena ada peran cuaca yang
mempengaruhi kualitas dan kuantitas garam itu sendiri. Berfluktuasinya cuaca di
Indonesia menyebabkan kualitas garam yang dihasilkan belum sebaik garam impor.
Kondisi alam Indonesia yang demikian subur ternyata menjadi faktor yang cukup
merugikan para petani garam. Curah hujan di Indonesia terlalu tinggi atau
berkisar 1.200-1.400 mm per tahun, tingkat kelembapan 60%-80%, bulan kemarau
3-6 bulan, luas rata-rata per pegaraman hanya 1.000-1.200 ha (kecuali Sumenep
2.700 ha), sedangkan produktivitas lahan hanya 50-60 ton per ha.
Dari waktu ke waktu, areal pegaraman
terancam semakin susut akibat adanya alih fungsi lahan, sehingga produksi
secara nasional semakin mengecil.Akibatnya,kecil potensi lahan ideal yang
tersedia untuk industri pegaraman.Madura, yang
menjadi basis produksi garam terbesar di Indonesia, bahkan hanya memiliki
panjang kemarau kering berkelanjutan selama sekitar 5 minggu. Pemerintah pernah
melakukan survei udara. Hasilnya, dari total panjang pantai di Indonesia, hanya
34.000 hektare pantai yang memenuhi persyaratan produksi garam, sedangkan yang
betul-betul efektif dimanfaatkan baru sekitar 18.000
ha [52,94%].
Dari total produksi garam dunia sekitar 240 juta ton per
tahun, Indonesia hanya mampu menghasilkan 1,2 juta ton. Produsen terbesar garam
di dunia dipegang China dengan produksi 48 juta ton per tahun, diikuti India
(16 juta ton), Australia (12 juta ton), Thailand (3 juta ton), dan Jepang (1,4
juta ton).
Di dalam negeri, dari total kebutuhan sekitar 2,79 juta ton
pada 2008, industri garam (termasuk garam rakyat), hanya mampu memasok 1,03
juta ton sehingga sekitar 1,63 juta ton garam atau setara 157,89% pasokan
tambahan harus dipenuhi dari impor. Kebutuhan garam pada 2008 dialokasikan
untuk sektor konsumsi (garam iodisasi) seperti rumah tangga, industri makanan,
pengasinan ikan, dan pakan ternak sebesar 1,12 ton. Konsumsi garam noniodisasi
(garam perminyakan, industri nonpangan/chlor alkali, perkebunan, farmasi,
berkadar garam (NaCl) sekitar 90%-98,5%) mencapai 1,67 juta ton.
Proyeksi kebutuhan
garam nasional (ton)
Tahun
|
Industri CAP (chlore alkali)
|
Garam rumah tangga
|
Industri aneka pangan/ pembersih
|
Total
|
2009
|
1.461.000
|
686.000
|
631.160
|
2.778.160
|
2015
|
1.848.631
|
744.780
|
710.788
|
3.304.199
|
2030
|
3.329.280
|
910.718
|
956.628
|
5.196.626
|
Sumber: Depperin, BPS, diolah
Realisasi
impor garam nasional pada 2006-2008 (ton)
Tahun
|
Iodisasi
|
Noniodisasi
|
Jumlah
|
2006
|
146.979
|
1.446.348
|
1.593.327
|
2007
|
191.173
|
1.447.368
|
1.638.541
|
2008
|
88.500
|
1.542.293
|
1.630.793
|
Sumber: Depperin
Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pengembangan
Usaha Kementerian Kelautan dan Perikanan Anshori Anwar, Minggu, mengatakan,
saat ini masih sangat minim ahli garam dari kalangan akademisi."Itu yang
menjadi salah satu penyebab Indonesia terlambat swasembada garam. Namun, saat
ini ada beberapa kampus yang mulai melakukan penelitian soal garam dan
diharapkan akan banyak ahli dari sana," kata Anshori.
Stagnasi produksi garam terhadap
konsumsi yang terus bertumbuh dari tahun ke tahun menyebabkan Indonesia tidak
bisa melepaskan ketergantungan impor garam. Impor terbesar garam nasional
selama ini didatangkan dari Australia. Namun, jika konsumsi dapat dipenuhi
seluruhnya dari impor, mengapa harga garam petani merosot ?
Menurut Atih Suryati Herman (Komisaris Utama) PT.Garam,
salah satu penyebabnya adalah penumpukan stok produksi. Pada 2007, bahkan
terjadi kelebihan pasokan garam 200.000 ton. Saat itu, produksi garam nasional
hanya mencapai 780.250 ton, sedangkan impor membeludak sebesar 1,826 juta ton
sehingga jumlah pasokan nasional pada 2007 mencapai 2,61 juta ton, sementara
total konsumsi hanya 2,40 juta ton, sehingga harganya cenderung jatuh.
Beliau menganggap naif orang yang
berpikir bahwa potensi produksi garam berbanding lurus dengan panjang dan luas
pantai. Banyak orang bilang Indonesia punya garis pantai begitu luas, tapi
kenapa masih impor garam. Ini sebenarnya pendapat yang sangat naif, katanya. Garam
dan air laut memang sama-sama asin, tetapi ada tiga syarat vital kalau kita
ingin memproduksi garam sesuai standar. Pertama, air laut sebagai bahan baku
harus memiliki kadar garam yang tinggi. Kadar garam bisa tinggi jika di pantai
itu tidak terdapat muara sungai sehingga air laut harus jernih. Selain itu,
pasang surut air laut yang mencapai permukaan daratan tidak lebih dari 2 meter.
Kedua adalah pantai/daratan sebagai ladang pegaraman utama dengan tinggi
sekitar 3 meter di atas permukaan laut sehingga air laut tidak boleh porous
atau merembes ke dalam tanah (ladang). Untuk ladang perorangan dibutuhkan
minimum 1 hektare, sedangkan untuk perusahaan sedikitnya 4.000 hektare. Ketiga,
iklim sebagai sumber energi. Curah hujan di suatu pantai ladang garam maksimal
berkisar 1.000 milimeter 1.300 milimeter (mm) per tahun dengan tingkat kemarau
kering berkelanjutan sedikitnya 4 bulan per tahun, jarang mendung dan berkabut
serta kelembapan yang rendah (terus-menerus panas). Jadi, betapa pun panjangnya
luas pantai di Nusantara, jika tiga persyaratan umum itu tidak terpenuhi jangan
berharap Indonesia menjadi produsen garam utama di dunia.
C. MENCARI SOLUSI TERBAIK
Jika alasan mengimpor garam adalah karena garam hasil dari
Indonesia kurang asin atau kurang berasa, apakah pemerintah sadar kalau selama
ini mereka pernah memperdulikan para petani garam seperti memberikan
infrastruktur yang bagus dan memadai serta menyediakan bagi para petani garam
peralatan – peralatan yang diperlukan untuk proses pengolahan garam. Pemerintah
jangan Cuma hanya meminta hasil yang maksimum saja dari petani garam tanpa
menyadari hal apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung
pembuatan garam di Indonesia. Para petani garam juga memerlukan peralatan dan
infrastruktur yang memadai untuk menghasilkan garam yang maksimum, jika
infrastrukturnya juga tidak memadai otomatis hasilnya akan kurang bagus
sehingga rasanya kurang asin.
KKP bersama Kementerian Perindustrian dan stakeholder
terkait telah memperoleh solusi mengatasinya, yakni penggunaan suatu formula
untuk menjadikan garam nasional kita berkualitas satu. Tapi mungkin masih
membutuhkan waktu tuk dirilis. Sebut saja Ramsol kepanjangan dari Garam Solusi,
yaitu sebuah hasil temuan dari mantan seorang PNS Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, Hasan Achmad Sujono, yang memang fokus terhadap permasalahan garam
di Indonesia. Beliau telah menciptakan suatu bubuk yang dapat meningkatkan
kualitas garam. Semoga saja suatu saat nanti berkat temuan beliau, Ramsol dapat
memajukan industri garam rakyat setara dengan garam kelas industri di luar
negeri, sehingga kita tidak perlu lagi mengimpor garam.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Indonesia Rachmat Gobel mengatakan untuk meredam banjirnya
impor garam yang merugikan petani, pemerintah harus bertindak cepat memperbaiki
pengawasan dan selektif memberikan izin impor sehingga penyerapan garam petani
dapat berjalan baik. Selain itu, posisi tawar petani garam harus ditingkatkan
dengan cara memangkas jalur distribusi yang berpotensi menggerus harga garam
petani. Yang paling penting di antara semuanya adalah upaya restrukturisasi dan
modernisasi teknologi industri garam sehingga meningkatkan produktivitas luas
lahan pegaraman yang sempit. Intinya ada pada nilai tambah, terangnya. Di
samping upaya kontrol dan verifikasi impor, pemerintah harus memperbaiki tata
niaga melalui mekanisme stabilisasi pasokan agar
neraca kebutuhan seimbang. Jika relokasi lahan di luar
Madura sulit direalisasikan, pemerintah dapat melakukan langkah intensifikasi
dan ekstensifikasi lahan pegaraman di wilayah Madura dengan penetapan tata
ruang yang jelas sehingga paradoks industri garam bisa segera diakhiri.
Terlepas dari kebijakan
pergaraman nasional yang masih amburadul, tampaknya pemerintah sejauh ini
memang tidak memiliki keinginan sedikit pun untuk menjadikan negeri ini mandiri
dalam memenuhi kebutuhan garam nasional. Pemerintah-dan tentu saja PT
Garam-terlihat pasrah begitu saja atas kondisi alam Indonesia yang dinilai
tidak memenuhi tiga persyaratan umum tadi, dan lebih memilih menjadikan negara
ini sebagai net importir. Padahal jika ditengok lebih jauh, Jepang yang
merupakan negara dengan empat musim dan juga memiliki banyak muara sungai ternyata
mampu memproduksi garam lebih banyak daripada Indonesia, begitu pula dengan
Australia dan negara lainnya. Apabila diteliti lebih jauh, kondisi alam di hampir
semua negara produsen garam di dunia, ternyata juga tidak sepenuhnya memenuhi tiga
persyaratan umum yang disebutkan Atih. Namun, faktanya mereka mampu memproduksi
garam lebih banyak daripada Indonesia. Mengapa ? Sebab mereka memiliki kemauan
sehingga akhirnya tercipta teknologinya. Kalaupun Indonesia tidak mampu
menciptakan teknologinya, mengapa pemerintah dan PT Garam tidak membeli saja
teknologinya dan belajar dari mereka, bukannya malah pasrah pada keadaan. Untuk
itu, jangan pula dibilang ‘naif‘ jika ada sebagian orang yang berpikir bahwa
jangan-jangan Pemerintah (PT Garam) sengaja memilih menjadi importir karena
jauh lebih nikmat ketimbang menjadi produsen yang serba merepotkan. Jika mau fair
semestinya pemerintah mengaudit secara menyeluruh terhadap PT Garam termasuk
aktivitas impornya.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
- Karena produksi garam lokal masih belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Yang terpenuhi hanya kebutuhan garam dapur saja, itupun kurang asin, sebab kualitasnya kalah jauh dari garam impor, karena terkendala oleh cuaca, teknologi dan lain sebagainya. Sedangkan untuk garam industri masih belum bisa terpenuhi.
- Ada tiga syarat vital untuk menghasilkan kualitas garam yang sesuai standar,yang pertama yaitu, air laut sebagai bahan baku harus memiliki kadar garam yang tinggi. Kadar garam bisa tinggi jika di pantai itu tidak terdapat muara sungai sehingga air laut harus jernih. Selain itu, pasang surut air laut yang mencapai permukaan daratan tidak lebih dari 2 meter. Kedua adalah pantai/daratan sebagai ladang pegaraman utama dengan tinggi sekitar 3 meter di atas permukaan laut sehingga air laut tidak boleh porous atau merembes ke dalam tanah (ladang). Untuk ladang perorangan dibutuhkan minimum 1 hektare, sedangkan untuk perusahaan sedikitnya 4.000 hektare. Ketiga, iklim sebagai sumber energi. Curah hujan di suatu pantai ladang garam maksimal berkisar 1.000 milimeter 1.300 milimeter (mm) per tahun dengan tingkat kemarau kering berkelanjutan sedikitnya 4 bulan per tahun, jarang mendung dan berkabut serta kelembapan yang rendah (terus-menerus panas).
B. SARAN
Seharusnya pemerintah tidak hanya tinggal diam
saja, mereka harus mencari solusi dengan cara memberikan infrastruktur yang
bagus dan memadai serta menydiakan peralatan-peralatan yang diperlukan oleh
para petani untuk proses pengolahan garam. Dengan begitu kualitas garam yang
dihasilkan akan lebih baik dan lebih banyak. Selain itu pemerintah juga harus
memperhatikan kesejahteraan para petani, karena para petani garam merasa mereka
kurang diperhatikan oleh pemerintah. Masyarakat pun juga bisa ikut andil untuk
menemukan solusi dari masalah ini dengan cara melakukan penelitian dan juga
menciptakan teknologi yang bisa memudahkan para petani garam. Seperti yang
dilakukan oleh mantan PNS dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Ingat
! Solusi tanpa aksi, bagaikan sayur tanpa garam.
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar