Makalah tentang riba



BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN RIBA
                Asal makna riba menurut bahasa Arab (raba-yarbu) atau dalam bahasa Inggrisnya usury/interest  ialah lebih atau bertambah (ziyadah/addition) pada suatu zat, seperti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Sedangkan menurut istilah riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Atau riba bisa juga diartikan sebagai pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
 Misalnya si A memberi pinjaman kepada si B, dengan Syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman beserta sekian persen tambahannya. Riba termasuk transaksi  jual beli yang haram. Adapun yang dimaksud disini menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut syara’, atau terlambat menerimanya.(Maulana muhammad ali,1950:721)

B. HUKUM RIBA
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama. Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:

                                                                                 ۚ الرِّبَا وَحَرَّمَ الْبَيْعَ اللَّهُ وَأَحَلَّ
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah : 275)

Juga terdapat dalam firman Allah yang lainya:

        (278) مُؤْمِنِينَكُنْتُمْإِنْ الرِّبَا مِنَ بَقِيَ مَا وَذَرُوا اللَّهَ اتَّقُوا آمَنُوا
   (279) تُظْلَمُونَ لَاوَتَظْلِمُونَلَاأَمْوَالِكُمْ رُءُوسُ فَلَكُمْتُبْتُمْ وَإِنْ وَرَسُولِهِاللَّهِمِنَ بِحَرْبٍ فَأْذَنُواتَفْعَلُوا لَمْفَإِنْ
“Hai orang-orang yang  beriman, bertakwalah  kepada Allah  dan  tinggalkanlah  sisa-sisa  riba. jika  memang  kamu  orang  yang  beriman.  Jika  kamu  tidak melakukannya,   maka   terimalah   pernyataan   perang   dari Allah  dan  rasul  Nya  dan  jika  kalian  bertobat  maka  bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat zalim dan tidak  pula  dizalimi”. (QS. Al-Baqarah : 278- 279)


“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)

Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadits Abu Hurairah z:

“Jauhilah tujuh perkara yang menghan-curkan –di antaranya– memakan riba.” (Muttafaqun ‘alaih)

b. Hadits Abu Juhaifah z riwayat Al-Bukhari:

“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)
Dalam hadits Jabir z yang diriwayatkan Al-Imam Muslim, yang dilaknat adalah pemakan riba, pemberi makan orang lain dengan riba, penulis dan dua saksinya, lalu Nabi n menyatakan:

“Mereka itu sama.”
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar. Keadaan-nya seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah t sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”

C. JENIS-JENIS RIBA
Secara umum riba terbagi menjadi dua bagian, yakni riba nasi’ah dan riba al-fadhl2.
1. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah (riba yang jelas, diharamkan karena keadaanya sendiri) diambil dari kata an-nasu’, yang berarti menunda, jadi riba ini terjadi karena adanya penundaan pembayaran hutang. Penjelasannya sebagai berikut.
Tambahan yang disyaratkan, yang diambil oleh orang yang memberi hutang dari orang yang berhutang. . Misalnya, si A meminjam satu juta rupiah kepada si B dengan janji waktu setahun pengembalian hutangnya. Setelah jatuh temponya, si A belum bisa mengembalikan hutangnya kepada si B, maka si A menyanggupi untuk memberi tambahan dalam pembayaran hutangnya.jika si B mau menambah/menunda jangka waktunya. atau si B menawarkan kepada si A, “apakah engkau akan membayarnya atau menundanya kembali dengan menanggung bunga?” Jika si B membayarnya, maka ia tidak dikenakan tambahan. Sedangkan jika tidak dapat membayarnya, maka ia menambahkan tangguh pembayaran dengan syarat bahwa ia nantinya harus membayarnya dengan tambahan. Sehingga, akhirnya harta yang menjadi tanggungan hutang orang tersebut pun menjadi terlipat ganda. Hal ini merupakan praktek/kebiasaan Jahiliyah, Oleh karena itu, Allah mengharamkan hal itu, dengan firmannya:
                                 ۖ تَعْلَمُون كُنْتُمْ إِنْ لَكُمْ خَيْرٌ تَصَدَّقُوا وَأَنْ مَيْسَرَةٍ إِلَىٰفَنَظِرَةٌ عُسْرَةٍ ذُو كَانَ وَإِنْ
“ Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (al-Baqarah: 280)
               بِالْمِلْحِ وَالْمِلْحُ بِالتَّمْرِ وَالتَّمْرُ بِالشَّعِيرِ وَالشَّعِيرُ بِالْبُرِّ وَالْبُرُّ بِالْفِضَّةِ وَالْفِضَّةُ بِالذَّهَبِ الذَّهَبُ
                  بِيَدٍ يَدًا كَانَ إِذَا شِئْتُمْ كَيْفَ فَبِيعُوا الأَصْنَافُ هَذِهِ اخْتَلَفَتْ بِيَدٍ يَدًا بِسَوَاءٍ سَوَاءً بِمِثْلٍ مِثْلاً
Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).

Maka dari itu jika waktu hutang tersebut sudah jatuh tempo, sementara orang yang berhutang itu kesulitan membayarnya, maka ia tidak boleh membalikan hutang tersebut kepadanya, tapi harus diberikan tempo lagi. Sedangkan jika orang yang berhutang itu berpunya, dan tidak sedang kesulitan, maka ia harus membayar hutangnya, dan tidak perlu menambah nilai tanggungan hutangnya itu, baik orang yang berhutang itu sedang mempunyai uang atau sedang sulit.(Abdurrahman Isa Ibnu Qayyim al-Zauji)
2. Riba Fadhl
Riba fadhl (riba yang samar, diharamkan karena sebab lain) berasal dari kata al-fadhl, yang berarti tambahan dalam salah satu barang yang dipertukarkan. Riba ini terjadi karena adanya tambahan pada jual beli benda/barang yang sejenis.
Jadi syariat telah menetapkan keharamannya dalam enam hal, yakni diantaranya adalah emas, perak, gandum, kurma, garam. Dan jika salah satu barang-barang ini diperjual belikan dengan jenis yang sama, maka hal itu diharamkan jika disertai dengan adanya tambahan antara keduanya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Sayid Sabiq bahwa riba fadhl ialah jual beli emas/perak atau jual beli bahan makanan dengan bahan makanan (yang sejenis) dengan ada tambahan. Contoh riba dalam utang-piutang (riba qardh), misalnya, jika si A mengajukan utang sebesar Rp. 20 juta kepada si B dengan tempo satu tahun. Sejak awal keduanya telah menyepakati bahwa si A wajib mengembalikan utang ditambah bunga 15%, maka tambahan 15% tersebut merupakan riba yang diharamkan.

Hal ini berdasarkan dari hadist Nabi yang disampaikan Abu Said al-Khudri (yang juga hampir senada dengan hadist yang disampaikan oleh ‘Ubadah bin al-Shamit )3 :
بِالْمِلْحِ وَالْمِلْحُ بِالتَّمْرِ وَالتَّمْرُ بِالشَّعِيرِ وَالشَّعِيرُ بِالْبُرِّ وَالْبُرُّ بِالْفِضَّةِ وَالْفِضَّةُ بِالذَّهَبِ الذَّهَبُ                      ,                                  سَوَاءٌ فِيهِ وَالْمُعْطِى الآخِذُ أَرْبَى فَقَدْ اسْتَزَادَ أَوِ زَادَ فَمَنْ بِيَدٍ يَدًا بِمِثْلٍ مِثْلاً

Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandunm, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama dan tunai. Maka barang siapa yang meminta tambahan maka sesungguhnya ia memungut riba. Orang yang mengambil dan memberikan riba itu sama dosanya.” (H.R. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)

Sementara itu, dalam konteks jual-beli barang ribawi, riba nasi’ah tidak berupa tambahan, melainkan semata dalam bentuk penundaan penyerahan barang ribawi yang sebenarnya disyaratkan harus tunai itu, baik keduanya sejenis maupun berbeda jenis. Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak secara tempo, atau membeli perak dengan perak secara tempo. Praktek tersebut tidak boleh dilakukan karena emas dan perak merupakan barang ribawi yang jika ditukar dengan sesama barang ribawi disyaratkan harus kontan. Itulah mengapa, pertukaran barang ribawi secara tidak tunai digolongkan kedalam riba nasi’ah. Sebagian ulama menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang ribawi ini dengan istilah khusus, yakni riba yad.(internet,google)
بِالْمِلْحِ وَالْمِلْحُ بِالتَّمْرِ وَالتَّمْرُ بِالشَّعِيرِ وَالشَّعِيرُ بِالْبُرِّ وَالْبُرُّ بِالْفِضَّةِ وَالْفِضَّةُ بِالذَّهَبِ الذَّهَبُ                                                               ,                                                            سَوَاءٌ فِيهِ وَالْمُعْطِى الآخِذُ أَرْبَى فَقَدْ اسْتَزَادَ أَوِ زَادَ فَمَنْ بِيَدٍ يَدًا بِمِثْلٍ مِثْلاً
“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, bur (gandum) ditukar dengan bur, sya’ir (jewawut, salah satu jenis gandum) ditukar dengan sya’ir, kurma dutukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)
Riba ini diharamkan karena untuk mencegah timbulnya riba nasi’ah, sehingga ia bersifat prefentif. Sebagian Ulama ada yang membedakan antara riba nasi’ah dengan riba fadhl seperti membedakan antara berbuat zina dengan memandang atau memegang wanita yang bukan mahramnya dengan nafsu syahwat. Memandang atau memegang wanita seperti itu diharamkan karena untuk menghindari perbuatan zina. Sebagian Ulama ada yang menambahkan selain kedua jenis riba tersebut diatas, yakni riba yad, yaitu riba yang dilakukan karena berpisah dari tempat akad sebelum serah terima terjadi. Kemudian Riba qardi yaitu hutang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi hutang. Namun secara umum keduanya termasuk kedalam jenis riba nasi’ah dan riba fadhl.
Pada dasarnya semua agama samawi di dunia (revealed religion) melarang praktek riba, karena dapat menimbulkan dampak bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mereka yang terlibat riba pada khususnya.(Sulaiman Rasjid,2006:290)

D. DAMPAK PRAKTEK RIBA
Adapun dampak akibat praktek dari riba itu sendiri diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Menyebabkan eksploatasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin, sehingga menjadiakan si kaya semakin berjaya dan si miskin tambah sengsara
2.      Dapat menyebabkan kebangkrutan usaha bila tidak disalurkan pada kegiatan-kegiatan yang produktif, karena kebanyakan modal yang dikuasai oleh the haves (pengelola) justru disalurkan dalam perkreditan berbunga yang belum produktif.
3.      Menyebabkan kesenjangan ekonomi, yang pada gilirannya bisa mengakibatkan kekacauansosial.
4.      Bahaya buat masyarakat dan agama.
5.      Para Ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai penjiman modal atau dengan singkat bisa disebut riba.
6.      Riba dapat menimbulkan over produksi. Riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah sehingga persedian jasa dan barang semakin tertimbun, akibatnya perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar, dan mengakibatkan adanya sekian jumlah pengangguran.
7.      Lord keynes pernah mengeluh dihadapan  Majelis Tinggi (House of Lord) inggris tentang bunga yang diambil oleh pemerintah A.S. Hal ini menunjukkan bahwa negara besar pun seperti inggris terkena musibah dari bunga pinjaman Amerika, bunga tersebut menurut fuqaha disebut riba. Dengan demikian, riba dapat meretakkan hubungan, baik hubungan antara orang perorang maupun negara antar negara, seperti Inggris dan Amerika.
8.      Seringan-ringan dosa riba yaitu seperti halnya kita berjima' dengan ibu kita sendiri(Ibn Majah dan al-Hakim).
9.      Mendapat laknat dan kelak di yaumil qiyamah mereka pelaku riba, Allah dan Rasul-Nya akan memerangi mereka, dibangkitkan dalam keadaan gila dan mereka kekal di dalam neraka.



C. Ayat dan Hadist yang Melarang Riba6
1.
Firman Allah SWT :
                                               
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (Ali Imran : 130  
2. Firman Allah SWT :

                                                                                   ۚ الرِّبَا وَحَرَّمَ الْبَيْعَ اللَّهُ وَأَحَلَّ
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah : 275)
1.      Firman Allah SWT :
                                         قِيَ مِنَ رُوا مَا يَا أَيُّهَا نْ كُنْتُمْمُؤْمِنِي نَ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوااللَّهَ وَذَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (Al-Baqarah : 278-279)”
6. Sabda Nabi SAW
Dari Jabir : Rasulullah SAW telah melaknat (mengutuk) orang yang memakan riba, wakilnya, penulisnya dan dua saksinya” (HR. Muslim)




BAB III
PENUTUP


A. KESIMPULAN
1.      Asal makna riba menurut bahasa Arab (raba-yarbu) atau dalam bahasa Inggrisnya usury/interest  ialah lebih atau bertambah (ziyadah/addition) pada suatu zat, seperti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Sedangkan menurut istilah riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam.
2.      Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama. Riba (termasuk bunga bank) adalah termasuk dosa besar. Baik pemberi, penulis dan dua saksi riba adalah sama dalam dosa dan maksiat denganpemakan riba. Tidak boleh bagi seorang Muslim mengokohkan transaksi riba. Dianjurkan (bahkan wajib) bagi kaum Muslimin untuk mendirikan bank Islam sesuai dengan syari’at agama, dan menghindarkan dari segala macam bentuk/praktek riba
3.      Secara umum Ulama membagi riba itu menjadi dua macam saja, yaitu riba nasi’ah’ dan riba fadil, sedangkan riba yad dan Riba qardi termasuk ke dalam riba nasi’ah dan riba fadhl.
4.  Barang-barang yang berlaku riba padanya ialah emas, perak, dan makanan yang mengeyangkan atau yang berguna untuk yang mengenyangkan, misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama jenisnya seperti emas dan dengan emas, gadum dengan gadum, diperlukan tiga syarat: (1) tunai, (2) serah terima, dan (3) sama timbangannya. Kalau jenisnya berlianan, tetapi ‘ilat ribanya satu, seperti emas dengan perak, boleh tidak sama tibangannya, tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ‘ilat ribanya berlainan seperti perak dengan beras, boleh dijial bagaimana saja seperti barang-barang yang lain; berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga itu.




DAFTAR PUSTAKA


Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, Lahore, The Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1950, hlm. 721.

Abdurrahman Isa Ibnu Qayyim al-Zauji, Al-Muamalat al-Hadits wa Ahkamuha. Mesir…:

http://www.titokpriastomo.com/fiqih/pengertian-riba-jenis-jenis-riba-contoh-contoh-riba.html#sthash.pfMRvHAr.dpuf
   
Al-Suyuti, Al-Jami’ al-Shaghir, vol.1, Cairo, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1954, hlm. 10

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2006, hlm. 290

Rasjid, op. cit. , hlm. 291-292

Zuhdi, op. Cit., hlm. 112

Komentar