Makalah tentang pegadaian syariah



BAB I
PENDAHULUAN


A.LATAR BELAKANG
           
            “ Mengatasi masalah tanpa masalah ”, pernahkah anda mendengar kalimat itu? Kalimat tersebut adalah motto dari pegadaian. Tentu anda sudah sering mendengar istilah pegadaian. Namun yang sering kita jumpai ialah pegadaian konvensional yang masih bercampur dengan unsur riba didalamnya. Tapi sekarang sudah ada pegadaian yang berasaskan islam yang berusaha menghilangkan unsur riba dalam operasionalnya yang disebut dengan pegadaian syariah.
            Saya sebagai penulis mencoba menyajikan pengertian tentang pegadaian syariah serta bagaimana sistem pengoperasiannya.



B.RUMUSAN MASALAH

1.                  Apakah pengertian dari pegadaian syariah?

2.                  Apakah visi pegadaian syariah?

3.                  Apa saja rukun sahnya proses gadai?



C.TUJUAN PENULISAN

1.                  Untuk mengetahui pengertian pegadaian syariah.

2.                  Untuk mengetahui visi pegadaian syariah.

3.                  Untuk mengetahui rukun sahnya proses gadai.









BAB II
PEMBAHASAN


A. PENGERTIAN PEGADAIAN SYARI’AH

Pegadaian ialah perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Atau juga akad atau perjanjian utang piutang dengan menjadikan harta sebagai kepercayaan atau penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya. Sedangkan pegadaian syari’ah adalah pegadaian yang dalam menjalankan operasionalnya berpegang kepada prinsip syari’ah.
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Alloh SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional.

B. TUJUAN PENDIRIAN PEGADAIAN SYARI’AH

Pada saat pendirian syaraih oleh Bank Muamalat Indonesia dan Perum Pegadaian melalui program musyarakah ditetapka visi dan misi dari pegadaian syariah yang akan didirikan, yang keduanya mensiratkan tujuan didirikannya pegadaian syariah. Visi pegadaian syariah adalah menjadi lembaga keuangan syariah terkemuka di Indonesia. Sedangkan misinya ada tiga:
a.Memberikan kemudahan kepada masyarakat yang ingin melakukan transaksi ang halal.
b.Memberikan superior return bagi investor
c.Memberikan ketenangan kerja bagi karyawan.
Jadi tujuan pendirian pegadaian syariah meliputi seluruh stakeholder yang berkaitan dengan usaha layanan pegadaian yaitu masyarakat, investor, dan karyawan. Mengenai rukun dan sahnya akad gadai dijelaskan oleh Pasaribu dan Lubis sebagai berikut :
1.Adanya lafaz,
            yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. (Ijab Qabul / sighot) Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.

2. Adanya pemberi dan penerima gadai. (Aqid)
            Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan murthahin (penenima gadai) adalah Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.

3. Adanya barang yang digadaikan. (Marhun)
Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada dibawah pengasaan penerima gadai. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) adalah:
a.       Dapat diserah terimakan
b.      Bermanfaat
c.       Milik rabin (orang yang menggadaikan)
d.      Jelas
e.       Tidak bersatu dengan harta lain
f.       Dikuasai oleh rahin
g.      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.

            Abu Bakr Jabir Al-Jazairi dalam buku “Minhajul Muslim” menyatakan bahwa barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-buahan dipohonnya yang belum masak. Karena penjualan tanaman dan buahbuahan dipohonnya yang belum masak tersebut haram, namun untuk dijadikan barang gadai hal ini diperbolehkan, karena didalamnya tidak memuat unsur gharar bagi murthahin. Dinyatakan tidak mengandung unsur gharar karena piutang murthahin tetap ada kendati tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya mengalami kerusakan.

4. Adanya utang/ hutang.
            Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba. Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah syarat utang yang dapat dijadikan alas gadai adalah:
a.       Berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan;
b.      Utang harus lazim pada waktu akad;
c.       Utang harus jelas rahin dan murtahin dan diketahui oleh.

Jika ada perselisihan mengenai besarnya hutang antara rahin dan murthahin, maka ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika murthahin bisa mendatangkan barang bukti. Tetapi jika yang diperselisihkan adalah mengenai marhun, maka ucapan yang diterima adalah ucapan murthahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika rahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan dakwaannya, karena. Rasulullah SAW bersabda: “barang bukti dimintakan dari orang yang mengklaim dan sum pah dimintakan dan orang yang tidak mengaku”. (Diriwayatkan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik).
            Jika murthahin mengklaim telah mengembalikan rahn dan rahin tidak mengakuinya, maka ucapan yang diterima adalah ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika murthahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan klaimnya. Madzhab Maliki berpendapat bahwa gadai wajib dengan akad, setelah akad orang yang menggadaikan (rahin) dipaksakan untuk menyerahkan barang untuk dipegang oleh yang memegang gadaian (murtahin). Sedangkan menurut Al-Jazairi marbun boleh dititipkan kepada orang yang bisa dipercaya selain murthahin sebab yang terpenting dan marhun tersebut dapat dijaga dan itu bisa dilakukan oleh orang yang bisa dipercaya.

C. OPERASIONALISASI PEGADAIAN SYARIAH

            Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama ( kurang lebih 15 menit saja ). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
            Di samping beberapa kemiripandari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional. Lebih jauh tentang ketiga aspek tersebut, dipaparkan dalam uraian berikut. Sebagaimana halnya instritusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasan yang dipakai adalah :
Quran Surat Al Baqarah : 283

            “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.



Hadist

            “Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda : Rasulullah membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi”. HR Bukhari dan Muslim
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda : “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya.” HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah

 Nabi Bersabda : “Tunggangan ( kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.” HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai.
Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda : Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya
boleh dinaiki (oleh yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya ( menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya. HR Jemaah kecuali MuslimdanNasai-Bukhari.

            Ijtihad Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa disyariatkan pada waktu tidak berpergian maupun pada waktu berpergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap riwayat hadis tentang orang Yahudi tersebut di Madinah Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn ( al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181) Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional no 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:

A. Ketentuan Umum :
1.      Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun ( barang ) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2.      Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
3.      Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4.      Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5.      Penjualanmarhun, apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi. Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.

B. Ketentuan Penutup
1.      Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.

C. Teknik Transaksi
            Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu.
1.      Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
2.      Akad Ijaroh. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akadrukun dari akad transaksi tersebut meliputi :
a. Orang yang berakad :
1) Yang berhutang (rahin) dan 2) Yang berpiutang (murtahin).
      b. Sighat ( ijab qabul)
      c. Harta yang dirahnkan (marhun)
      d. Pinjaman (marhun bih)

            Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.


Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi :

1.      Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2.      Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
3.      Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya,milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
4.      Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
5.      Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi,biaya penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.

            Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum   Pegadaian.
            Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang. Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syariah melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.













BAB III
PENUTUP


A.KESIMPULAN

1.      Pegadaian ialah perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Sedangkan pegadaian syari’ah adalah pegadaian yang dalam menjalankan operasionalnya berpegang kepada prinsip syari’ah.

2.      a. Memberikan kemudahan kepada masyarakat yang ingin melakukan transaksi yang halal.
b.   Memberikan superior return bagi investor
c.   Memberikan ketenangan kerja bagi karyawan.

3.   a. Adanya lafaz
b. Adanya pemberi dan penerima gadai. (Aqid)
c. Adanya barang yang digadaikan. (Marhun)
d. Adanya utang/ hutang.
                                                           


B.SARAN

            Seharusnya kita sebagai seorang muslim harus sudah memulai melepaskan diri dari segala macam belenggu riba. Salah satunya yaitu bila kita ingin menggadaikan suatu barang hendaknya digadaikan di pegadaian syariah.
            Selanjutnya saya sebagai penulis mengharapkan kritik dan saran kepada para pembaca yang bersifat membangun demi kebaikan makalah ini kedepannya, terima kasih.
















DAFTAR PUSTAKA







·         al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181


·         Heri Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, Cet Ke 3, Yogyakarta: Adipura, 2004

Komentar